Kader Handal Peracik Jamu untuk Lansia
Februari 26, 2024Kebaya, Mengokohkan Jati Diri Mengibarkan Eksistensi
Maret 5, 2024Dari LFU Menjadi We Love You: Impian ODHIV Diterima dan Menerima Diri
Sebagaimana pasien dengan penyakit menular maupun tidak menular yang secara medis mensyaratkan minum obat dalam jangka waktu lama, Orang dengan HIV (ODHIV) juga diwajibkan meminum ARV setiap hari . Minum ARV (atau disebut status on ARV Treatment/ART) membutuhkan kedisiplinan dan kemauan yang kuat dari ODHIV sendiri karena satu hari saja mereka melupakan minum ARV, maka penanganannya harus diulang dari awal. Bahkan, harus mengganti jenis obat karena sebelumnya menjadi kurang efektif bila sempat terlupakan dikonsumsi. Apabila ODHIV tidak melanjutkan minum ARV secara rutin setiap hari, dalam waktu 1-3 bulan, maka dikategorikan putus ARV atau disebut lost to follow up, dikenal dengan LFU.
Pada awalnya pendamping, peer group, pengelola program HIV di layanan Care Support and Treatment (CST) mengira kondisi geografis tempat tinggal ODHIV jauh dari fasilitas kesehatan menjadi alasan utama banyaknya kasus LFU. Namun demikian, dalam sebuah focus group discussion (FGD) monitoring dan evaluasi internal di Kabupaten Belu bersama 3 KDS yang hadir, ternyata alasan geografis dan transportasi bukanlah menjadi alasan utama terjadinya LFU pada diri ODHIV. Dari seluruh anggota KDS yang hadir dalam FGD diminta untuk menuliskan dalam kertas post it tentang “alasan mengapa ODHIV pernah dan sedang dalam kondisi LFU”. Saat diklasifikasikan, maka jawaban-jawaban tentang alasan/latar belakang ODHIV dalam kondisi LFU adalah: (1) Mengalami kejenuhan dan bosan mengkonsumsi ARV setiap hari; (2) ODHIV dan keluarga lebih percaya hanya mengkonsumsi racikan tradisional daripada ARV; (3) Putus asa dan malu bila (ketahuan) mengkonsumsi ARV; (4) Alasan dukungan dari keluarga, takut ketahuan keluarga kalau mengidap HIV dan AIDS, tekanan dari keluarga yang malu bila ODHIV tersebut mengambil obat rutin di rumah sakit, tidak ada anggota keluarga yang mengambilkan obat, dan sedang ada masalah dengan keluarga; (6) Alasan ekonomi, tidak memiliki pekerjaan, dan tidak punya biaya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit dan atau biaya transportasi; (7) Alasan rumah sakit jauh dari tempat tinggal; (8) Terlambat menyadari kehabisan stok, pindah ke tempat lain dan ternyata di tempat baru tidak tersedia layanan ARV, pulang kampung kehabisan persediaan; (9) Takut ke rumah sakit waktu kasus Covid-19 sedang tinggi, padahal stok obat habis; (10) Tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa ARV harus rutin (meski pasca melahirkan).
Dari sekian banyak kategori alasan yang disebutkan oleh peserta FGD KDS yang hadir, dipilih alasan yang paling utama atau paling sering banyak dialami oleh ODHIV saat dan sedang LFU. Jenuh atau bosan dan persoalan keterbatasan pendapatan ekonomi menurut anggota KDS menjadi alasan utama ODHIV memutuskan untuk LFU. Sementara itu, dalam FGD terpisah dengan pengurus dan anggota Warga Peduli AIDS di Kabupaten Belu, berdasarkan cerita dari ODHIV dan keluarga sendiri, faktor psikologis ODHIV melakukan LFU lebih mengemuka, yaitu alasan malu pada diri sendiri dan orang lain, denial (menolak kenyataan), belum siap menerima kenyataan ia positif HIV/AIDS.[1] Merasa tidak didukung oleh keluarga sendiri yang terdekat juga menjadi faktor yang melatarbelakangi ODHIV untuk LFU.
Di sisi lain, banyak ODHIV menyatakan dukungan keluarga pula yang menyebabkan mereka tetap rutin ART dan tidak LFU. Dukungan keluarga, dukungan dari sesama ODHIV, kelompok dukungan sebaya, dan pengelola program HIV dikategorikan sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial dibutuhkan oleh ODHIV ketika ia pertama kali menerima informasi hasil tes HIV dan konsekuensi dari prosedur pengobatan yang akan dijalaninya seumur hidup. Tidak sampai di situ saja, dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan dibutuhkan saat ODHIV rentan mengalami diskriminasi dan stigma, bahkan stigma datang dari dirinya sendiri. Kaplan (1993) menyimpulkan, bahwa dukungan sosial dapat diperoleh melalui individu-individu yang diketahui dapat diandalkan, menghargai, memperhatikan serta mencintai kita dalam suatu jaringan sosial. Dijelaskan pula oleh Sarafino (2006), bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau merubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan. Dukungan sosial yang diterima ODHIV berdampak positif terhadap aspek kesehatan, psikologis, sosial dan pekerjaan, sehingga hal tersebut dapat membantu ODHIV dalam meningkatkan kesehatan guna menghadapi virus HIV (Nurbani, 2008). Billings & Moos (Lubis, 2009) mengemukakan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat memerangi tekanan psikologis selama masa stres.
Dengan demikian, proses menerima diri sebagai ODHIV, lalu diterima oleh lingkungannya dimulai dari keluarga, teman sebaya dan masyarakat yang menjadi bentuk dukungan sosial, menjadi kata kunci bagi ODHIV untuk menjalani perawatan dan pengobatan seumur hidup dalam kerangka menjaga kualitas kesehatannya. Dalam beberapa wawancara menggali data dalam rangka evaluasi internal, muncul beberapa kisah pembelajaran yang dikisahkan oleh Orang dengan HIV (ODHIV) dan keluarganya, untuk memperkuat kondisi ini.
Kisah 3 ODHIV ini tentang pengalaman mereka saat memutuskan atau dalam kondisi menghentikan minum ARV, atau yang kita kenal dengan istilah LFU. Tidak semua cerita adalah happy ending alias berakhir dengan kelegaan dan bahagia, tetapi ada juga kisah yang berakhir sedih.
Berjuang untuk Diterima
Cerita pertama penulis dapatkan dari seorang ODHIV yang adalah seorang ibu rumah tangga yang hidup dengan 2 anak, ibu kandung dan adik kandungnya. Ia sendiri tidak mempunyai pekerjaan tetap, selain mendapatkan orderan ojek untuk melayani pelanggan perempuan dan Lansia. Sebut saja ibu K, pernah mengalami LFU selama kurang lebih 1 tahun, dan saat ini sudah kembali rutin minum ARV. Pertama kali terdiagnosis pada tahun 2018 karena menunjukkan gejala, dan 2 anaknya dinyatakan negatif. Pada tahun 2020, K diajak suaminya merantau untuk bekerja di Kalimantan, karena itu ia mengajak anaknya yang masih Balita (1 tahun). Ternyata sesampainya di Kalimantan mereka bermukim di tengah perkebunan sawit tempat mereka bekerja yang sangat jauh dari kota dan akses fasilitas kesehatan. ibu K tidak mendapatkan informasi sama sekali apakah Faskes di kota terdekat melayani ART atau tidak, sehingga persediaan obat ARV yang ia bawa habis dan tidak bisa melanjutkan pengobatan meskipun membawa surat rujukan.
Karena kondisi demikian, Ibu K terpaksa masuk dalam status LFU dan mulai drop kesehatannya. Ia memaksa suaminya untuk kembali ke kampung halamannya agar bisa melanjutkan pengobatannya, tetapi suaminya tidak mau. Mulai saat itu mereka sering bertengkar, terjadi kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya dan itu membuatnya stres. Sampai suatu saat Ibu K tidak mampu bertahan dan memutuskan melarikan diri dari rumah membawa anaknya yang masih berusia 1 tahun. Berbekal uang Rp 1,8 juta ia pergi ke bandara dibantu tetangganya. Ternyata uangnya tidak cukup untuk beli tiket pesawat 2 orang ditambah biaya bagasi. Ibu K mengontak ibunya untuk mengirimkan uang tambahan untuk beli tiket, akhirnya terpenuhi tambahan 1 juta setelah ibunya berusaha meminjam uang dari para tetangganya. Dengan hanya pakaian yang melekat di badan, ibu K dan anaknya berhasil pulang dan diterima oleh keluarganya. Karena kondisinya yang sangat lemah, berat badan turun drastis dan psikis mengalami stres berat, ia dirawat di RSUD untuk treatment lanjutan pasca LFU. Sampai sekarang hubungannya dengan suami tidak berjalan baik, tidak pernah berkomunikasi lagi, suami blocking nomor kontak ibu K, dan ditambah keluarga suaminya tidak mau menerima Ibu K dan anak-anaknya sebagai anggota keluarga karena status HIV-nya. Padahal keluarga mertuanya tinggal hanya di desa sebelah.
Alasan Ibu K kembali rutin ARV karena ia masih memiliki keluarga, khususnya anak-anaknya yang membutuhkan dia. Sebagai penyintas kekerasan rumah tangga, ia berusaha untuk bangkit. Sekarang ia bekerja sebagai ojek, mengantarkan tetangganya bila pergi ke kota. Ibu K berkeinginan mengumpulkan modal untuk berdagang ikan. Ia juga aktif sebagai anggota KDS untuk memotivasi teman-teman sesama ODHIV, dan mendampingi tetangganya yang status LFU.
Berjuang untuk Menerima Diri
Kasus kedua yang diwawancarai adalah pasangan suami istri dengan status LFU. Dengan tanpa alasan, suami tidak bersedia menemui kami, sehingga hanya bisa mewawancarai istrinya, Ibu A, usia sekitar 21 tahun. Tidak banyak informasi yang bisa digali dari Ibu A, karena ia banyak berdiam diri dan lebih banyak tidak bersedia menjawab beberapa pertanyaan. Selama proses wawancara ia didampingi oleh ibu dan tantenya, dan ibu K ikut mendampingi sekaligus ingin memotivasi lagi ibu A.
Ibu A sedang dalam kondisi hamil tua, 8 bulan. Ini adalah kehamilan keduanya, setelah pada persalinan pertama tahun 2020 bayi kembarnya meninggal semua (usia 1 minggu setelah dilahirkan). Ibu A sempat rutin minum ARV beberapa bulan pada kehamilan pertama, dan pada kehamilan kedua ARV terputus di bulan Juni 2021. Sampai saat kehamilan menginjak usia 8 bulan, ia memutuskan tidak minum ARV. Pemeriksaan kehamilan pun baru dilakukan ketika usia 7 bulan kehamilan di dokter kandungan.
Kondisi fisik Ibu A tampak kurus (KEK). Dari informasi yang disampaikan oleh pendamping, pada pemeriksaan bidan di Posyandu diperkirakan berat bayinya baru 1,6 kg. Di samping itu Ibu A menunjukkan gejala lain, seperti bibir pecah-pecah dan kulit muka kering. Dari sisi penampilan fisik kelihatan gizinya sangat kurang. Keluarga, anggota WPA, dan pengelola HIV Puskesmas sudah berupaya untuk mengajak Ibu A pergi ke RSUD untuk pemeriksaan dan menjalankan ART lagi. Tetapi yang bersangkutan tetap tidak mau kalau tidak diambilkan obatnya. Ia beralasan tidak mau minum ARV karena tidak tahan dengan efek sampingnya. Menurutnya waktu kehamilan pertama, ia minum ARV yang menyebabkan ia mudah batuk sehingga mengganggu kehamilan. Ketika ia batuk batuk, ia terpaksa mengalami persalinan prematur dan bayi kembarnya meninggal. Trauma itulah yang menyebabkan ia tidak bersedia lagi minum ARV. Di samping itu, kebijakan RSUD mengharuskan ODHIV yang sempat LFU harus pergi datang sendiri mengambil obat (sehingga pengelola HIV tidak bisa mengambilkan obat) membuat ia semakin kuat tidak mau pergi memeriksakan diri di RSUD.
Bagaimana dengan sang suami? Meskipun tidak mendapatkan cerita langsung dari suami A, namun dari cerita pendamping, anggota WPA, dan sesama ODHIV yang merupakan tetangganya, suami A tidak pernah mau menerima status sebagai ODHIV. Bahkan ia cenderung mengabaikan kenyataan bahwa virus ini bisa menular dan ditularkan, dengan dampak berbahaya bila tidak ditangani. Ibu A adalah istri ketiganya, setelah dua istri sebelumnya meninggal karena AIDS. Karena abainya itu, ia menularkan ke A setelah dinikahi dan ia tidak pernah memberitahukan kondisi sebenarnya. Entah takut distigma, ditolak atau memang tidak pernah paham, tak ada yang tahu.
Merasa Tidak Diterima
Kisah lainnya adalah tentang seorang mantan mahasiswi yang sempat mengalami LFU. Sebut saja S. Saat ditemui, ia mengaku baru bisa bangun dari tempat tidurnya beberapa hari belakangan. S adalah seorang mahasiswi perguruan tinggi yang terpaksa drop out seiring dengan keputusannya menghentikan minum ARV karena merasa sudah sehat dan bisa beraktivitas. Awalnya, S melakukan tes pertama kali HIV pada 2018 karena menunjukkan gejala HIV. Saat itu langsung konsumsi ARV yang obatnya diambil di RSUD. Dokter melalui ibu S memberitahukan bahwa S tidak boleh putus, seumur hidup harus minum obat. Obat ARV yang diambilkan ibunya untuk S dikirim dengan bis ke kota tempat S menjalankan pendidikan.
Ibunya mengungkapkan bagaimana kerasnya ia memotivasi S untuk tidak putus minum obat, selain karena obat ini gratis. Namun setelah 1 tahun berjalan konsumsi ARV rutin, sekitar tahun 2019, S memutuskan untuk tidak minum ARV. Alasannya, waktu itu pengetahuan mengenai HIV belum mendalam dan merasakan badan sudah segar, jadi ia berpikir seperti penyakit lainnya yang kambuhan.
Beberapa bulan setelah memutuskan tidak konsumsi ARV, kondisi tubuh S drop lagi. Ia dipaksa ibunya pergi ketemu dokter di RSUD. Waktu S putus ARV, ibunya menangis karena sudah paham bahayanya kalau putus obat. “Apabila putus, efeknya bisa lebih parah, begitu kata dokter, dan itu sungguh terjadi pada diri S,” jelas ibunya. Selama ini yang rajin ambil obat untuk S adalah ibunya atau adiknya sepulang dari kerja. Ibunya khawatir disalahkan oleh keluarganya kalau tidak mengingatkan S. Pada saat putus ARV, S mengalami diare berkepanjangan, jamur di mulut, dan gangguan di kulit. Mulai Februari 2021 konsumsi ARV lagi yang ring 2. Adiknya sekarang yang mengambilkan obat. Selain karena merasa kesehatannya membaik, alasan bosan minum ARV yang menyebabkan ia putus obat. Karena efeknya juga yang tidak tahan yakni mual muntah.
S pernah kembali minum ARV lagi selama 7 bulan. “Bersyukur S masih diberi kesempatan untuk sehat lagi,” kata ibunya. Setelah kembali minum ARV, nafsu makan sudah kembali, sudah bisa bangun. S sempat opname 4 hari di RS. Sejak Desember 2020 S tidak melanjutkan kuliahnya yang sebenarnya sudah akan selesai, ia tidak mengungkapkan mengapa putus kuliah. Registrasi pada bulan Desember 2020 itu adalah terakhir S di kampus, setelah itu muncul gejala sakit dan ia diminta ibunya pulang ke kampung dan tidak melanjutkan kuliah. Ketika sudah pulih dan badan sehat kembali, S ingin membuka usaha kios ketika ada modal usaha. “Untuk teman-teman, kalau bisa melanjutkan minum obat, karena kita dengan HIV bergantung pada ARV. Kalau bisa anggaplah itu makanan setiap hari”, harapan S kepada sesama ODHIV. Efek ARV yang sekarang yang dirasakan hanya mual kalau minum. Lebih parah efek ARV pertama daripada yang sekarang.
Namun sayangnya, semangat S untuk kembali rutin ARV tidak berlangsung lama. Beberapa saat setelah wawancara, S tidak melanjutkan minum ARV. Obat-obat yang diambilkan diketahui belakangan hanya disimpannya di bawah kasur. Ia meninggal beberapa bulan kemudian, dengan meninggalkan catatan-catatan harian yang mengisyaratkan pesan betapa ia merasa kesepian menghadapi hidup sebagai ODHIV, dan merasa tidak didukung dengan penuh oleh keluarganya.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Ibu K yang bisa menerima dirinya sebagai ODHIV meski tidak diterima dan didukung oleh suami dan keluarga suaminya, bisa melanjutkan ART-nya dan mengembalikan kualitas kesehatannya. Selain didasarkan pada keinginan untuk bertahan, ia mengingat dukungan dari keluarga intinya yaitu anak-anak kandung, ibu, dan saudara-saudara yang mau menerima ibu K sebagai ODHIV. Di kisah lain, ibu A melakukan denial (penolakan yang sangat kuat) bahwa ia ODHIV, dan sikap ini diperkuat dengan tidak tersedianya dukungan dari pasangannya sendiri, walaupun keluarga dan lingkungannya mendukung pengobatan. Namun demikian keputusan pengobatan dan perawatan ada di tangan Ibu A. Demikian juga dengan S, yang tetap merasa tidak disokong oleh keluarga. S memutuskan untuk menghentikan minum ARV meski tersedia di tangannya dan memilih fokus pada masalah kesepiannya hingga pergi meninggalkan kehidupan.
Apa yang bisa kita ambil dari pembelajaran ini? Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa ODHIV mengalami dinamika psikologis yang beragam. Maka benar apa yang diungkapkan oleh KDS dan WPA dalam FGD refleksi, bahwa bukan hal mekanis yang menyebabkan LFU sedemikian tinggi, melainkan isu psikososial di seputaran kehidupan ODHIV pasca dinyatakan statusnya. Perasaan kesepian dan ketidakmampuan menghadapi problem-problem yang menyerta setelah dinyatakan sebagai ODHIV, apabila tidak diantisipasi dapat menyebabkan ODHIV merasa tidak bermakna menjalani kehidupannya. Pada akhirnya, ODHIV cenderung memilih memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Padahal, ODHIV sejatinya memiliki beberapa pilihan yang sudah diberi banyak contoh oleh ODHIV yang bertahan dan menunjukkan survival-nya.
Pilihan bagi ODHIV adalah apakah ia bisa menerima diri sebagai ODHIV atau tidak, dan apakah ia bisa memaknai dukungan darimana yang akan ia terima dalam kerangka memperbaiki kesehatannya. Sementara pilihan bagi keluarga, lingkungannya, dan pendamping ODHIV adalah apakah bisa menyediakan dukungan yang tepat bagi ODHIV sehingga mereka bisa melanjutkan hidupnya.
Dengan demikian, layanan psikososial bagi ODHIV dan keluarga atau Orang Hidup dengan ODHIV menjadi sangat penting dan serius diperhatikan oleh penyelenggara layanan CST, lembaga pendamping ODHIV, kelompok dukungan sebaya, dan pihak terkait lainnya. Gabriella (2016)[1] dalam artikelnya mengungkapkan bahwa layanan pendampingan psikologis dapat menjadi bentuk tindakan promotif, preventif, serta kuratif dan rehabilitatif jika diterapkan dalam konteks yang sesuai dengan kebutuhannya, dalam hal ini adalah untuk pendampingan kepada ODHIV. ODHIV tidak saja rentan mendapatkan perilaku diskriminasi dan stigma, tetapi juga rentan mengalami masalah psikologis yang bila tidak ditangani serius akan mengarah ke masalah kejiwaan sampai gangguan jiwa. Manifestasi dari gangguan kejiwaan tersebut ada dalam rupa stres, depresi, kesepian yang terlalu lama, dan pada akhirnya seperti memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, baik dalam waktu cepat maupun pelan-pelan, salah satunya dengan cara tidak mau lagi melanjutkan ART.
Oleh karena itu, penting bagi pendamping ODHIV, baik keluarga, petugas layanan, kelompok dukungan sebaya, motivator dan lain-lain, untuk memahami cara memberikan dukungan psikososial bagi ODHIV, salah satunya adalah menjadi teman yang mau mendengarkan. Metode mendengarkan dan memberikan support ke ODHIV tidak harus membutuhkan keterampilan yang profesional seperti halnya konselor yang membutuhkan pelatihan khusus. Namun demikian, bagaimana mendengarkan dan memberikan dukungan bagi ODHIV juga membutuhkan pelatihan khusus dengan mengetahui prinsip-prinsip dasar psikososial yang sederhana. Pelatihan dan mentoring ini perlu disediakan bagi orang-orang yang bekerja di seputaran fHIV, selain juga untuk keluarga yang mendampingi ODHIV. Di antara ODHIV sendiri, mereka juga bisa menjadi subyek untuk menyediakan dukungan bagi rekannya, terutama bagi orang yang baru pertama kali didiagnosa sebagai ODHIV.
Intervensi pendekatan psikososial dalam menemani dan mendampingi ODHIV ditujukan pula untuk membantu ODHIV mengatasi kecenderungan merasa kesepian, dengan kata lain bisa mengurangi kesepiannya. Dalam taraf lebih berat, intervensi psikiatrik bisa jadi merupakan bagian dari pendampingan psikososial yang dilakukan oleh professional (baca: psikiater) sehingga layanan lebih komprehensif. Layanan psikiatrik tidak hanya mekanis menyediakan pengobatan klinis, melainkan juga menyediakan ruang dialogis bagi ODHIV. Gabriella (2016) berpendapat, bahwa layanan psikologis makin dirasa dibutuhkan, dan hal tersebut juga diakui dalam UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Pasal 19 dalam UU Kesehatan Jiwa menyebutkan wewenang psikolog untuk menegakkan diagnosa gangguan jiwa, dan Pasal 56 menyebutkan layanan praktik psikolog, pekerja sosial, pusat rehabilitasi, serta rumah singgah sebagai fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa di luar fasilitas kesehatan. Implementasi undang-undang ini perlu dikawal agar layanan psikologis yang mendukung kesehatan jiwa, termasuk bagi ODHIV dapat disediakan bagi seluruh warga Indonesia. Yang perlu dipikirkan adalah bahwa rujukan layanan kesehatan mental bagi ODHIV yang membutuhkan menjadi bagian dari layanan CST komprehensif yang disediakan oleh rumah sakit rujukan.
Sebagai catatan terakhir dalam refleksi ini, membayangkan bahwa alangkah indahnya apabila ODHIV menerima dukungan psikososial yang utuh, selain ia sendiri melatih dirinya untuk menerima keadaan dan berdamai dengan status baru. ODHIV bisa menerima dan merasa diterima. Dengan demikian, angka LFU tidak lagi meninggi, melainkan menurun dan menjadi 0 alias zero yang membawa ODHIV pada kualitas kehidupan yang jauh lebih baik. Kita berharap, kata-kata LFU suatu saat berubah menjadi WLU yang artinya We Love You ditujukan bagi ODHIV terkasih.* (Dewi Utari).
Referensi:
Gabriella, A. (2016), Layanan Psikologis dan Kesehatan Jiwa dalam Penanggulangan HIV AIDS diunduh melalui https://pph.atmajaya.ac.id/berita/artikel/layanan-psikologis-dan-kesehatan-jiwa-dalam-penanggulangan-hiv-aids/
Kaplan, H.I., Sadock, B.I., Grebb, J.A.1993. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri. Jilid dua : edisi ke tujuh. Jakarta : Binarupa Aksara.
Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons Inc.