Dari LFU Menjadi We Love You: Impian ODHIV Diterima dan Menerima Diri
Februari 27, 2024Menguatkan Jati Diri Mewujudkan Mimpi
April 3, 2024Kebaya, Mengokohkan Jati Diri Mengibarkan Eksistensi
Mengenal Yayasan Kebaya Yogyakarta, image awal yang tergambar dalam benak orang umum adalah lembaga yang bersentuhan dengan fashion atau busana, serta identik dengan pakaian perempuan yang anggun, sopan dan tradisional. Yang paling mendekati dari tafsir tentang Yayasan Kebaya tersebut adalah anggun dan sopan, dan memang demikian para aktivis serta volunteer Yayasan Kebaya. Yayasan Kebaya awalnya adalah sebuah Shelter tempat perawatan ODHIV di DIY yang diinisiasi dan didirikan oleh para transpuan sejak 18 Desember tahun 2006 dengan nama awal LSM Kebaya Yogyakarta, terletak di Jl. Gowongan Lor JT III/148 Penumping Jetis Yogyakarta. Shelter ini merupakan sebuah rumah sederhana yang letaknya cukup strategis di tengah kota dan berstatus kontrak sekaligus difungsikan sebagai sekretariat LSM Kebaya dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Violet. Mulai 19 Oktober 2018 berubah Status Hukum Kelembagaan dari LSM Kebaya menjadi Yayasan Kebaya Yogyakarta dengan Akte Notaris: HJ. Irma Fauziah SH No. 23, Tanggal 17 Oktober 2018, SK Kemenkumham RI Nomor : AHU-0014516.AH.01.04.1018.
Dalam rentang perjalanannya, Yayasan Kebaya banyak bersentuhan dengan berbagai elemen dan institusi, yang membuat mereka kian matang dalam berorganisasi. Salah satu komponen yang intens berinterkasi dengan Kebaya di tiga tahun terakhir adalah UPKM/CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta, yang telah memberikan support dalam bentuk capacity building maupun peningkatan performance Yayasan Kebaya. Salah satu fasilitasi yang diberikan adalah penyusunan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2020-2023. Dalam Renstra ada rumusan analisa SWOT, visi dan misi, nilai utama yang diusung, isu strategis, roadmap rencana strategis, program kerja, faktor pendukung dan penghambat, strategi pencegahan HIV dan AIDS, strategi pengelolaan shlter, serta mimpi pengelolaan shelter 3 tahun ke depan. Perumusan Renstra ini ditindaklanjuti dengan beberapa peningkatan kapasitas kelembagaan antara lain manajemen keuangan dan administrasi serta manajemen organisasi.
Menguatkan Kapasitas Yayasan Kebaya
Kebaya sebagai sebuah organisasi yang tidak sekedar berbasis komunitas, namun sudah menempati organisasi modern dengan berbadan hukum sebagai yayasan, sehingga menjadi kebutuhan untuk meningkatkan aspek-aspek prinsip dalam pengelolaan sebuah organisasi, utamanya organisasi nirlaba yang berbasis kemanusiaan. Tanpa pengelolaan manajemen yang sesuai standar, maka akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dan berinterkasi dengan institusi lain, terutama lembaga donor. Salah satu aspek penting untuk ditingkatkan adalah manajemen dan tata-kelola keuangan, karena point ini menjadi prasyarat penting untuk bisa diukur sejauhmana tata-kelola keuangan bisa berjalan, dan pada gilirannya apa bila menyertakan institusi audit, maka indikator dan prasyarat untuk dikaji secara audit maka Yayasan Kebaya sudah memiliki pirantinya.
Aspek Keuangan merupakan bagian penting dalam sebuah organisasi. Tertib pengelolaan keuangan akan berdampak positif terhadap sistem pengelolaan organisasi secara keseluruhan dalam proses pengambilan keputusan sehingga menjadi organisasi yang sehat dan kredibel.
Laporan keuangan adalah pintu gerbang utama sebuah organisasi, di mana kondisi keuangan menjadi cermin perjalanan organisasi pada masa lampau dan titik tolak untuk masa depan. Maka laporan keuangan menjadi sangat penting dan penguatan kapasitas setiap orang dalam organisasi untuk bisa memahami dan membaca gambaran besar ini sangat diperlukan.
Untuk capaian ini, UPKM/CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta telah memberikan pelatihan yang pertama, yakni Peningkatan Kapasitas Lembaga Yayasan Kebaya, khususnya pada topik manajemen keuangan, dalam pelatihan ini para peserta melakukan kajian bersama tentang nilai filosofi pengelolaan keuangan dalam sebuah organisasi, menganalisis tata kelola keuangan Yayasan Kebaya, membangun pemikiran bersama bagaimana para staf Yayasan Kebaya memahami gambaran umum keuangan organisasi nirlaba. Capaian dari pelatihan ini menghasilkan rumusan dan dokumen tata kelola keuangan yang menjadi pijakan Yayasan Kebaya dan staf Yayasan Kebaya mampu membaca laporan atau ringkasan keuangan untuk ikut ambil bagian dalam perencanaan strategis Yayasan Kebaya.
Peningkatan kapasitas yang kedua adalah pelatihan manajemen organisasi. Manajemen organisasi yang masih perlu ditata kembali di Yayasan Kebaya adalah menjaga fokus implementasi dari visi misi dan renstra lembaga, aturan main, partisipasi, transparansi, akuntabilitas. Dalam pelatihan ini staf Yayasan Kebaya melakukan kajian filosofis pentingnya manajemen organisasi sebuah lembaga, sharing gagasan dan kaji ulang terhadap visi, misi dan mandat lembaga, memetakan potensi dan identifikasi program yang sudah dilakukan serta menggali peluang yang relevan dengan mandat lembaga dan diberikan pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen organisasi.
Dari pelatihan manjemen organisasi ini, staf Yayasan Kebaya memahami tentang filosofi pentingnya manajemen organisasi sebuah lembaga, adanya reposising dan visioning terhadap renstra lembaga, merumuskan potensi dan identifikasi program yang sudah dilakukan, serta peluang yang relevan dengan mandat lembaga, dan peserta memiliki pemahaman tentang manajemen organisasi (aturan main, partisipasi, transparansi, akuntabilitas) dan kemampuan untuk mengaplikasikan.
Selain peningkatan kapasitas untuk Yayasan Kebaya, UPKM/CD Bethesda YAKKUM Yogyakarta juga memberikan support akses layanan kesehatan rujukan dari Yayasan Kebaya bagi dampingan yang tidak memiliki Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau layanan kesehatan yang tidak dicover oleh JKN. Pemberian support untuk akses layanan kesehatan ini dalam bentuk transport, konsultasi dokter, obat, laborat dan rawat inap.
Di masa pandemi Covid-19 UPKM/CD Bethesda YAKKUM juga telah memberikan support dalam dua tahap, yaitu April-Mei 2020 dan Juli-September 2020 dalam bentuk alat kesehatan dasar (masker, timbangan, thermogun, tensimeter), serta pelatihan sabun herbal, pembuatan disintfektan dan pertanian organik. Supporting lainnya diberikan untuk sarana dan prasarana Shelter. Selain itu juga telah mendapatkan pelatihan pangan lokal, akupresure dan refleksi bersama dengan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS), Warga Peduli AIDS (WPA) dan layanan kesehatan yang ada di Kota Yogyakarta.
Dukungan kepada Yayasan Kebaya juga diberikan dalam bentuk rekomendasi kerjasama dengan mitra BfdW. Kerjasama dalam bentuk program respon Covid-19 dalam rentang waktu 6 bulan di tahun 2020 dan ketahanan pagan untuk rentang 2 tahun yakni 2021-2022.
Jalan Panjang Memperoleh E-KTP
Membangun solidaritas dan kebersamaan dalam situasi apapun merupakan identitas komunal yang dimiliki oleh komunitas transpuan yang ada di Kota Yogyakarta. Rasa senasib dalam menjalani hidup menjadi energi bagi transpuan untuk mengokohkan jati diri mereka terutama menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Mengibarkan bendera eksistensi bukan baru pertama kali dilakukan oleh komunitas transpuan. Di masa lalu dalam situasi bencana dan kondisi darurat, mereka mampu melakukan aksi solidaritas sosial. Pada masa pandemi Covid-19 ini juga kembali melakukan advokasi untuk memperoleh E- KTP dan mendapat akses vaksin Covid-19.
Di tahun pertama pandemi Covid-19, memperoleh vaksin Covid-19 merupakan sesuatu yang sulit didapatkan. Memasuki tahun kedua, Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk semakin mempermudah akses vaksin bagi masyarakat. Meskipun awalnya diprioritaskan untuk tenaga kesehatan dan pegawai yang melayani publik serta lansia, namun dalam perjalanannya akses diperluas bagi para pedagang di pasar, warga masyarakat umum, bahkan yang paling akhir adalah anak sekolah dan usia 6 tahun. Yang menarik, kelompok rentan seperti transpuan atau waria belum mendapatkan akses vaksin karena persyaratan identitas diri atau Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kementrian Kesehatan mencatat prediksi jumlah populasi transpuan di Indonesia sebanyak 38.928 orang (Kementrian Kesehatan, 2017). Selain sebagai populasi minoritas, sebagian besar masyarakat masih belum bisa menerima mereka yang mengakibatkan posisi transpuan cenderung terasingkan dan belum setara dengan kelompok atau populasi masyarakat lainnya. Ketidaksetaraan tersebut mengakibatkan munculnya batasan-batasan bagi transpuan dalam memenuhi hak-hak dasarnya termasuk dalam mengakses layananpublik yang tersedia. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut selanjutnya menciptakan kerentanan bagi mereka dari berbagai aspek salah satunya kepemilikan dokumen kependudukan berupa akte kelahiran, kartu keluarga, dan kartu tanda penduduk. Sebagai gambaran, sebuah studi pada kelompok transgender yang dilakukan di Jakarta menunjukkan bahwa pemenuhan hak kepemilikan dokumen kependudukan masih rendah seperti kepemilikan Akte Kelahiran (54%), Kartu Keluarga (63%) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku sebesar 71% (Praptoharjo, et al. 2017). Rendahnya kepemilikan dokumen dasar tersebut juga mengakibatkan hambatan bagi mereka untuk melanjutkan pendidikan dimana mayoritas adalah tamatan pendidikan menengah (SMP dan SMA).
Terbatasnya tingkat pendidikan yang dapat diselesaikan kemudian mengakibatkan terbatasnya akses kesempatan untuk bekerja secara formal. Studi mencatat mayoritas dikarenakan keterbatasan tersebut maka transpuan akhirnya terpaksa melakukan pekerjaan sebagai penyedia jasa seks. Tentunya dengan melakukan pekerjaan sebagai penjaja seks, maka mereka menambah kerentanan terhadap tingkat kesehatan dalam kaitannya dengan penularan HIV dan IMS serta kualitas hidupnya. Demikian juga dengan tidak dimilikinya dokumen kependudukan, terutama KTP, maka menghambat akses mereka terhadap layanan kesehatan publik yang disediakan oleh negara termasuk akses vaksinasi covid-19. Awal tahun 2021 Pemerintah mulai melakukan program vaksinasi covid-19 dengan sasaran utama Lansia termasuk transpuan Lansia sebagai salah satu kelompok rentan yang menjadi prioritas pemberian vaksin. Namun pada kenyataannya, sebagian transpuan Lansia tidak dapat mengakses vaksin covid-19 tersebut karena belum memiliki KTP. Latar belakang inilah yang membuat UPKM/CD Bethesda YAKKUM bekerjasama dengan Yayasan Kebaya memperjuangkan akses kepemilikan dokumen kependudukan bagi transpuan.
Proses advokasi dokumen kependudukan mulai dilakukan pada 26 Maret 2021 dengan melakukan audiensi kepada Biro Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk melakukan konsultasi tentang akses vaksin bagi Waria, penyandang disabilitas dan Lansia yang tidak punya NIK. Audiensi dilakukan oleh UPKM/CD Bethesda YAKKUM bersama dengan Yayasan Kebaya dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM dan diterima oleh Kepala Bagian Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, hasil dari audiensi tersebut adalah bahwa Biro Tata Pemerintahan DIY bersedia untuk memfasilitasi penerbitan NIK bagi teman-teman komunitas yang membutuhkan dan memenuhi syarat, yaitu: belum pernah punya NIK, atau sudah pernah punya NIK tetapi sudah dihapus oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
Dalam rangka pengusulan dokumen kependudukan tersebut, Yayasan Kebaya dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM diminta mengirimkan surat kepada Biro Tata Pemerintahan DIY tentang permohonan fasilitasi NIK dengan melampirkan data lengkap antara lain nama, alamat, usia, permasalahan (belum pernah punya NIK, sudah pernah punya NIK tetapi sudah dihapuskan, atau sudah pernah punya NIK tetapi terkendala untuk mengurus kepindahan). Setelah surat dikirimkan, Biro Tata Pemerintahan akan berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota untuk pengecekan data-data dampingan tersebut dan memfasilitasi diskusi antara lembaga dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten/kota. Dampingan yang belum pernah punya NIK, atau pernah punya NIK tetapi sudah dihapus oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil akan difasilitasi penerbitan NIK baru. Dampingan yang pernah punya NIK tetapi terkendala untuk pengurusan surat pindah akan difasilitasi diskusi untuk pencarian solusi.
Setelah proses audiensi yang pertama dilakukan, Yayasan Kebaya menindaklajuti dengan mengirimkan surat permohonan fasilitasi NIK bagi teman-teman transpuan. Namun ternyata proses penerbitan dokumen kependudukan belum juga membuahkan hasil. Melihat perkembangan kasus covid-19 di DIY, beberapa lembaga yang bergerak di isu pendampingan kelompok rentan berinisiatif melakukan koordinasi akses vaksin Covid-19 untuk warga non NIK kepada Dinas Kesehatan DIY yang bertujuan agar kelompok rentan dapat segera mendapatkan akses vaksin Covid-19 termasuk bagi transpuan yang belum memiliki NIK. Koordinasi dilakukan secara online pada tanggal 16 Agustus 2021 diinisasi oleh YAKKUM dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) serta turut dihadiri oleh Biro tata Pemerintahan DIY dan stakeholder terkait.
Hasil dari pertemuan koordinasi tersebut adalah adanya kesepakatan bahwa warga tidak ber-NIK dapat difasilitasi untuk menerima vaksin Covid-19 terlebih dahulu, setelah mendapatkan vaksin, data peserta tersebut selanjutnya diserahkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota untuk proses selanjutnya yaitu crosscek biometric dan pengisian formulir. Pelaksanaan vaksin Covid-19 bagi warga non NIK dikoordinasikan oleh Dinkes DIY pada Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Setelah NIK didapatkan, data dikembalikan ke penyelenggara vaksin yakni Dinas Kesehatan untuk pencatatan dan dilaporkan ke Peduli Lindungi. Di dalam pertemuan koordinasi tersebut, Kepala Bagian Kependudukan Biro Tata Pemerintahan DIY menyatakan komitmennya untuk mengawal proses penerbitan NIK bagi komunitas dan berkoordinasi bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten/Kota.
Komitmen Biro Tata Pemerintahan DIY tersebut ditunjukkan dengan proses koordinasi lanjutan yang dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2021 dengan mengundang perwakilan Yayasan Kebaya (termasuk lembaga pendamping) untuk berdialog dengan Dirjen Kependudukan Kementrian Dalam Negeri untuk membahas tentang alur dan tindakan afirmatif untuk percepatan pengurusan NIK. Sebelum koordinasi dilakukan maksimal tanggal 18 Agustus 2021, data warga yang tidak berNIK bisa disetorkan ke Biro Tata Pemerintahan DIY untuk dicrosscek. Penyerahan data dengan menyertakan Nama Lengkap, Nama Ibu Kandung, Nama Ayah Kandung untuk dibahas sekaligus dengan Dirjen Kependudukan Kementrian Dalam Negeri. Hasil dari pertemuan koordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri tersebut adalah data dari Yayasan Kebaya sudah disampaikan kepada Biro Tapem DIY ada 16 transpuan DIY yang belum memiliki NIK dengan rincian 7 orang tinggal di kota Yogyakarta, 8 orang di Kabupaten Sleman dan 1 orang di Kabupaten Kulonprogo. Biro Tata Pemerintahan DIY sudah melakukan pengecekan awal dan selanjutnya data akan diserahkan ke Dinas Dukcapil Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil DIY sudah memberikan arahan terkait langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatatan Sipil Kabupaten/Kota untuk membantu proses penerbitan NIK. Termasuk jika diperlukan proses pindah dari daerah asal, maka diarahkan untuk melakukan pindah antar Dinas agar lebih cepat prosesnya. Kepala Dinas Dukcapil juga menyampaikan proses yang sudah dilakukan di Tangerang dan beberapa kota lain dalam membantu penerbitan NIK bagi transpuan. Kepala Biro Tapem DIY sudah mentargetkan bahwa akhir Agustus 2021 sudah harus ada progres dalam proses penerbitan dokumen kependudukan dari 16 transpuan di DIY.
Proses penerbitan dokumen kependudukan bagi transpuan di DIY ternyata masih menemui beberapa tantangan. Meskipun mengacu pada aturan yang sama, tetapi proses penerbitan NIK di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di masing-masing Kabupaten/Kota ternyata tidak selalu medapatkan hasil yang sama. Data yang dihimpun oleh Yayasan Kebaya, pada tanggal 5 November 2021 semua transpuan yang berdomisili di Kabupaten Sleman sudah mendapatkan NIK dengan proses yang lancar meskipun cukup panjang dan mengharusnya koordinasi berulang dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Sleman. Namun justru tantangan terbesar adalah di wilayah Kota Yogyakarta, sampai saat ini masih ada 4 transpuan yang berdomisili di Kota Yogyakarta yang belum bisa mendapatkan NIK karena terganjal beberapa prosedur yang ditetapkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Yogyakarta. Proses advokasi masih terus berjalan dalam upaya memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.
Beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari proses advokasi dokumen kependudukan bagi transpuan di DIY ini adalah peran organisasi atau kelompok pemerhati komunitas transpuan dalam memfasilitasi kebutuhan kepemilikan KTP sangat besar dengan menjadi fasilitator secara kolektif upaya advokasi kepemilikan KTP. Dan upaya organisasi dan kelompok pemerhati untuk mengadvokasi kepemilikan KTP juga sejalan dengan program pemerintah untuk mencapai percepatan target 100% kepemilikan KTP oleh seluruh penduduk Indonesia secara nasional. Selain menjadi fasilitator, peran organisasi dan kelompok pemerhati juga strategis untuk memotivasi komunitas untuk memanfaatkan asas manfaat kepemilikan KTP sebagai pemenuhan hak kependudukan individual maupun manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh dengan makin mudahnya layanan-layanan publik setelah memiliki KTP. Selain itu dibutuhkan tindakan afirmatif yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan, karena hal-hal yang bersifat procedural tentunya akan sangat menghambat keberhasilan advokasi yang diperjuangkan oleh komunitas.
Best practice (pengalam baik) dari program yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebaya dan komunitas transpuan yang ada di Yogyakarta dalam mengadvokasi KTP menjadi sebuah model pembelajaran penting bagaimana mereka memperjuangkan hak-hak komunitas marginal di Yogyakarta mereka yang tidak punya KTP, yang konsekuensinya tidak bisa mengakses layanan publik antara lain akses kesehatan, jaminan sosial dan secara khusus di era pademi Covid-19 adalah akses mendapat vaksin padahal nyata-nyata mereka terlantar, miskin dan rentan terpapar Covid-19.
Advokasi KTP yang dilakukan oleh Yayasan Kebaya tampaknya hanya sebuah proses kecil dan administratif untuk melayani pemenuhan kebutuhan komunitas transpuan di Kota Yogyakarta. Namun hal ini menunjukkan bahwa mau tidak mau negara sudah harus menerapkan kebijakan yang fleksibel untuk kasus khusus terutama yang berkaitan dengan komunitas transpuan. Sebagai contoh syarat administratif kependudukan yang mengharuskan adanya surat pindah dari daerah asal menjadi kendala. Belajar dari advokasi KTP ini, OPD terkait pada akhirnya bisa memfasilitasi diterbitkannya KTP sebagai syarat akses berbagai layanan pemerintah.
Semangat yang diusung dalam memiliki identitas diri E-KTP dan memperoleh vaksin Covid-19 bagi transpuan menjadi pembelajaran bagaimana mengurai persoalan sosial bagi komunitas marginal yang tidak memiliki dukungan yang memadai dari orang terdekat, keluarga, masyarakat dan sistem dalam negara. Model pendekatan yang dilakukan oleh Yayasan Kebaya Yogayakarta adalah salah satu upaya komprehensif dalam memanusiakan manusia terutama bagi kelompok marginal ODHIV, Waria, Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Lansia di Yogyakarta.
Peluang,Tantangan dan Pembelajaran
Keberadaan Shelter sangat potensial sebagai rumah perawatan lanjutan bagi ODHIV pasca dari Rumah Sakit. Yayasan Kebaya telah mengelola shalter selama lebih dari 14 tahun. Dedikasi yang telah ditunjukkan oleh Pengurus dan Volunteer Yayasan Kebaya cukup teruji, di mana banyak ODHIV yang dirawat bisa sembuh dan beraktivitas kembali seperti semula.
Peran dalam mengurus klien yang sakit dan dirawat di Shelter sangat strategis, karena sebagian besar mereka tidak memiliki orang terdekat, keluarga maupun kerabat yang mendukung. Belum lagi mereka tidak memiliki jaminan kesehatan maupun identitas kependudukan. Permasalahan ini kian kompleks karena tingginya stigma dan diskriminasi dari masyarakat awam terhadap ODHIV.
Tantangan yang dihadapi ke depan adalah kemandirian Yayasan Kebaya dalam mengelola sumber pendanaan, SDM serta biaya operasional kegiatan Shelter. Memelihara hubungan baik serta kemitraan dengan para Stakeholder, jaringan Pemerintah dan Swasta menjadi kata kunci dalam menjawab tantangan kebutuhan Shelter ODHIV.
Pembelajaran penting dari Shelter Kebaya adalah kebersamaan, kemandirian, solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Hal tersebut tumbuh dari kerja-kerja sukarela para relawan dan Pengurus Kebaya yang memiliki kepekaan sosial terhadap permasalahan ODHIV. *(Hd).